Ambo

Perkenalkan nama saya Reza. Saya sedang bertugas di Desa Pude, sudah 5 tahun. Di sini sangat indah, lembut pasir pantai menyapa di luar pintu. Alunan musik suara ombak menidurkan di kala siang. Angin sepoi-sepoi mengelus-elus mata hingga akhrinya terlelap. Pohon-pohon kelapa melambai-lambai mengajakku keluar. Anak-anak kecil berenang hingga kulit menghitam. Suara Ambo Karim yang sedang memperbaiki perahunya menambah kenikmatan itu semua.
Ambo tinggal sendiri di rumahnya, anak-anaknya sudah kerja di kota dan sudah berkeluarga, namun aku menemaninya selama bertugas di sini. Ia  sangat baik padaku, setiap sore ia mengajakku makan binte, kesukaanku. Setiap pagi ia bangun duluan menyapu halaman yang tanpa pagar. kurus, dan sudah beruban. Namun hal itu tidak menjadikan semangatnya luntur, ia seorang tokoh yang disegani karena kebaikannya.
Dari rumah kayu aku keluar. Pagi itu sangatlah cerah. Pasir, laut, pohon kelapa, angin menyambut pagiku. Ya Allah, maha besar engkau, dalam hatiku. “Assalamu alaikum” sapa Ambo. “Waalaikum salam” aku membalas. “gimana? Bersih kan?” kata Ambo dengan candaannya yang ia lantunkan tiap hari. “Bersih Beh, kayak muka Babeh, mulus”. Babeh sapaan akrab ku ke Ambo, ia orang tua yang terbuka ke siapa saja, senyum tulusnya selalu menyertai candaannya padaku.
5 tahun lalu aku bertugas ke Desa Pude. Ya, aku seorang Dokter. Mungkin tampangku tidak terlihat seperti seorang Dokter. Aku hanyalah seorang berumur 21 tahun yang tidak terlalu ganteng. Pertama kali menginjakkan kaki ke Desa Pude, aku melihat Ambo sedang membantu seorang ibu mengambilkan buah mangga. Dengan tubuh kurusnya ia memanjat pohon setinggi 4 meter seperti anak muda. Aku takjub. Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan Ambo di puskesmas tempatku bertugas. “Aih, begini mi nak kalo sudah tuami. Sakit-sakit” katanya dengan logat setempat setelah kutanya beberapa pertanyaan ala dokter. Aku tidak mengerti, baru beberapa hari aku tinggal di tanah ini. “maaf pak, saya dari Bandung, lagi tugas di sini” kataku. “Ooh, Bandung” kata Ambo. “yang mana itu nak? Sulawesi bagian apa?” tanyanya. Aku hanya tersenyum, lalu menjawab “bukan pak, Bandung itu di Jawa, kalau dari sini naik mobil dulu ke Makassar, terus naik pesawat sekitar 2 jam”. “Jauh ya” katanya, senyuman khasnya – ompong dan keriput – yang tulus sudah terkenang sejak itu. Ambo melanjutkan “kapan-kapan main ke rumah, nanti saya kasi makanan enak-enak, tidak jauh ji dari sini” ia kemudian menjelaskan jalan menuju rumahnya, “cukup luruus saja, terus belok kiri, habis itu luruus terus, sampai nda ada mi lagi jalan, yang banyak pasir putihnya di ujung, nah itu rumah ku” katanya sambil mengangkat tangannya mengimajinasikan jalan menuju rumahnya.
Sejak itu aku sering main ke rumahnya, aku diajarkan bahasa setempat, dan Ambo kuajarkan bahasa Bandung (Sunda). Keingintahuannya sangat besar, ia seorang yang haus ilmu namun berada di salah tempat, terpencil. Beberapa bulan kemudian aku memutuskan untuk tinggal di Desa Pude. Kedua orangtuaku sudah tidak ada dan aku anak tunggal. Satu hal yang paling kuingat dari orangtuaku yaitu “Nak, tinggallah di belahan dunia manapun, pelajari budayanya, dan nikmati rasanya perbedaan. Nanti kamu bakal ketemu dengan orang yang baik atau juga orang yang ngeselin. Saat itu juga kamu bakal tau bagaimana kamu memperlakukan orang lain”. Almarhumah Ibu adalah seorang Ibu yang mengerti anak. Suara lembutnya terkadang kurindukan di malam hari. Sedangkan Almarhum Ayah laki-laki yang sangat sabar. Ia memang jarang memberi kata-kata bijak, namun perilakunya setiap hari sudah mengajarkanku segalanya. Ya Allah, jika aku punya kesempatan untuk bertemu mereka, maka bercucurlah tangisku. Aku mau meminta maaf karena kurangnya perhidmatanku. Itu yang kuceritakan kepada Ambo. Ambo mendengarkanku dengan seksama. Ia mengangguk-ngangguk sesekali dan memberikanku nasihat. Hampir setiap pulang dari bertugas aku kerumahnya dan curhat tentang kehidupanku. Dan disetiap akhir curhatanku aku selalu mengatakan “Ya Allah..”. Dan Ambo selalu tersenyum setelahnya. Ambo kemudian berkata “Maghrib mi nak, saya antar ki ke masjid”. Aku kemudian siap-siap, begitu pula Ambo. Kami naik motor tua yang biasa dipakai untuk berkebun. Suasana pedesaan masih sangat kental. Obor, Adzan masih menggunakan alat seadanya, dan saat maghrib semua orang tenang. Disana listrik masih sangat dibatasi, dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore saja, itupun kadang masih mati lampu. Beberapa menit berlalu, kami sampai di masjid dari bambu yang penerangannya hanya dengan obor. Aku masuk. Kuliat Ambo tidak ikut sampai dalam, aku berkata “Ayo Ambo” – aku belum akrab dengan Ambo waktu itu – ia hanya tersenyum dan duduk bersandar di dinding luar masjid. Aku heran, namun qomat sudah berkumandang. “Assalamualaikum Warohmatullah”. Sholat selesai, setelah salam-salaman dengan jemaah lainnya, aku melihat Ambo berdiri di luar masjid – menungguku dari tadi – sedang disalim-salimi dengan jemaah yang keluar. Langit sudah gelap, ditemani suara motor tua, kami pulang menuju rumah, perjalanan dari masjid dan rumah Ambo tidak begitu dekat, kami melewati harus melewati kebun dan tambak milik orang. Aku memberanikan diri untuk bertanya ke Ambo, “Ambo, kok tadi gak ikut sholat?”. Dengan santai dan juga senyuman khasnya ia menjawab, “Saya kristen nak”. Aduuh, aku merasa sangat malu dan tidak tahu diri. Kenapa aku tidak mengetahuinya. “Ambo kalau lain kali saya pergi ke masjid sendiri aja, Ambo gak usah ngatarin” kataku. Ia hanya membalas, “Nak, saya suka sekali kalau ketemu sama orang-orang. Apa lagi kayak tadi, kapan lagi saya bisa salim-saliman sama orang-orang habis solat?” katanya dengan tulus. Kekagumanku bertambah, andai ada banyak Ambo Karim di dunia ini. Kehidupan sudah terjamin ketentramannya.

Tiba harinya aku dipanggil ke Bandung. Ambo mengantarku pulang, ia ngebelain datang ke puskesmasku, padahal motornya sedang rusak. Betapa sedihnya waktu itu, Ambo karim sudah seperti orang tuaku. Aku berpamitan dan ia menaliminya. Sembari bersaliman ia berkata, “Reza, sempat-sempatkan datang ke sini kalau naik pesawatko di’ nak”, matanya berkaca-kaca, begitu pula aku. Namun senyumnya tidak pudar sedikit pun. Aku tersenyum, ia sudah mengerti kalau pesawat tidak hanya ke Makassar saja. “Nanti saya kirimkan motor baru buat babeh” Jawabku, senyumnya melebar. Kututup kaca mobilku dan Ambo melambai-lambai kepadaku, seperti orang tua mengantarkan anaknya yang akan keluar kota. Tentu saja aku tidak akan meninggalkan Ambo begitu saja, aku terus teringat dengan pesan orangtuaku. Suatu saat, aku akan tinggal di sini.